Kamis, 14 April 2011

TEOLOGI PENCIPTAAN: Sebuah Tinjauan dan Refleksi

oleh Hendi Rusli

Tulisan ini telah dipublikasikan pada tgl. 18 Mei 2009 di http://hendirusli.blogspot.com/2009/05/teologi-penciptaan.html

Kebanyakan orang berpandangan bahwa topik mengenai Penciptaan sudah tidak relevan lagi untuk dibicarakan, khususnya di dalam diskusi teolog-teolog modern. Jika demikian halnya bagaimana seharusnya kita memahami teologi penciptaan yang termarjinalisasi dalam kitab Kejadian 1 dan 2 ini. Beberapa ahli berpendapat bahwa teologi Penciptaan sebenarnya hanyalah subordinasi dari teologi Penebusan. Di sisi lain orang juga mempersoalkan antara teologi Penciptaan dengan sains modern, dan menegaskan bahwa teologi Penciptaan tidak lagi relevan untuk dibicarakan. Apakah memang benar demikian? Lalu apa sebenarnya yang esensi dari teologi Penciptaan? Melalui pembahasan berikut akan ditinjau lebih jauh mengenai Teologi Penciptaan yang terkait dengan isu-isu tersebut.

Teologi Penciptaan Dalam Kitab Suci
Menurut Walter Lempp,[1] Cerita mengenai penciptaan terdapat di dalam kitab Kejadian, khususnya Kejadian 1:1-2:25. Riwayat yang pertama tentang penciptaan bukanlah sebuah tulisan seorang pengarang yang mau menulis sebuah cerita sejarah, melainkan adalah ajaran para imam Israel mengenai asal-usul hubungan dan tujuan dunia serta manusia. Mungkin cerita tentang penciptaan telah berpuluh-puluh tahun dipikirkan, diubah, diperbaiki, direnungkan, didoakan, dilisankan dalam liturgi dan ibadah para imam bangsa Israel, sebelum cerita itu mendapat bentuknya yang sekarang ini. Dan cerita yang dalam bentuk sekarang ini merupakan hasil dari pemikiran teologis dari beberapa generasi imam berikutnya.
Riwayat penciptaan membagi penciptaan dunia dan segala isinya dalam tujuh hari:

Hari ke-1 : (ayat 1-5)
Penciptaan pada umumnya; penciptaan terang; pemisahan antara yang terang dan yang gelap; pemberian nama-namanya.

Hari ke-2 : (ayat 6-8)
Penciptaan cakrawala; peisahan antara air yang di atas dan air yang di bawah; pemberian namanya.

Hari ke-3 (ayat 9-13)
Pengumpulan air yang di bawah cakrawala, sehingga kelihatan darat; pemberian nama; penciptaan tumbuh-tumbuhan dan pohon di darat.

Hari ke-4 (14-19)
Penciptaan matahari, bulan dan bintang.

Hari ke-5
Penciptaan iakan-ikan di laut dan burung-burung di udara.
Hari ke-6 (ayat 24-2:1)
- Penciptaan binatang di darat (ayat 24-25)
- Penciptaan manusia (ayat 26-2:1)

Hari ke-7
Penyelesaian pekerjaan Allah. Perhentian dan pengudusan hari ke-7.

Rencana penciptaan dalam tujuh hari tidak mengacu kepada soal waktu. Firman Allah menciptakan waktu dan jangka-jangkanya. Tiap-tiap bagian penciptaan diikuti oleh kalimat, “jadilah petang dan jadilah pagi itulah hari ke-...” (ayat 5, 8, 13, 19, 23, 31). Ini berarti penciptaan oleh Allah tidak terjadi dalam waktu, melainkan menyebabkan waktu. Allah, itulah pemberi waktu; Dialah Tuhannya waktu yang tidak terbelenggu oleh waktu dan urutannya.

Jadi asal mula dunia ini, dalam perspektif Kitab Suci tidak dapat dipahami sebagaimana sains memahami terjadinya dunia dan jagat raya berjuta-juta tahun lamanya. Hari-hari yang ditunjukkan dalam cerita penciptaan tidak dapat disamakan dengan waktu kronos yang kita pahami. Hal lain yang dapat kita pahami bahwa cerita penciptaan merupakan dasar dan awal dari seluruh bagian Kitab Suci Perjanjian Lama. Manusia dapat berkata-kata tentang Allah dan segala sesuatu yang telah diciptakan karena ada peristiwa penciptaan sebagai titik awal sejarah (dalam arti teologis).

Teologi Penciptaan Bagi Orang Israel[2]
Teologi Penciptaan dari sudut pandang bangsa Israel tidak seperti yang dipahami di atas. Teologi Penciptaan tidak menjadi prioritas dan dasar. Bangsa Israel lebih dahulu mengenal Allah sebagai Allah-Penyelamat (yang telah membebaskannya dari tanah perbudakan di Mesir) dan Allah-Perjanjian (yang membuatnya menjadi bangsa dan yang mengadakan perjanjian dengannya). Baru kemudian mereka mengenal-Nya sebagai Allah-Pencipta. Karena itu banyak para ahli lebih dulu berbicara tentang Allah-Perjanjian atau Allah-Penebus ketimbang Allah-Pencipta. Sebab menurut Abineno, jika kita lebih dulu berbicara tentang Allah-Pencipta, kita tidak tahu siapakah Dia. Dan apa yang kita baca tentang karya penciptaan-Nya dalam Kejadian 1 dan Kejadian 2 itu hanya merupakan suatu cerita atau pemberitahuan biasa saja, bahwa langit dan bumi dan segala isinya telah dijadikan oleh “suatu kuasa yang tinggi”, yang disebut Allah. Bagi orang Kristen, cerita penciptaan menjadi penting, ketika kita mengetahui bahwa Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dan segala isinya adalah juga Allah-Perjanjian dan Allah-Penebus. Namun apakah itu benar? Dan memang seharusnya dipahami demikian?

Pencipta dan Dunia Ciptaan
Berbicara mengenai teologi Penciptaan, berarti tidak dapat dilepaskan dari Sang Pencipta tersebut, yaitu Allah dan dunia ciptaan, yaitu alam semesta dan segala isinya. Apakah setelah Allah menciptakan segala sesuatu Allah berhenti sampai di situ? Allah ternyata terus berkarya dan membangun relasi dengan dunia ciptaan. Misalnya, Allah memilih suatu bangsa yang menjadi umat pilihan-Nya. Allah terus berkarya melalui perbuatan-perbuatan-Nya kepada umat pilihan-Nya. Perbuatan-Nya nyata misalnya melalui perjanjian yang dibuat-Nya, penebusan yang dilakukan-Nya kepada umat, dsb. Lalu, adakah keterkaitan antara perbuatan-perbuatan Allah kepada ciptaan dengan karya-Nya sebagai Allah Pencipta? Dan bagaimanakah sebenarnya relasi antara Sang Pencipta dengan dunia ciptaan?

Pandangan Para Ahli Mengenai Teologi Penciptaan 
Abineno setuju bahwa teologi Penciptaan harus di tempatkan setelah Perjanjian dan Penebusan. Hal ini juga diperkuat oleh pandangan von Rad,[3] ia membedakan secara tajam antara penciptaan dan penebusan yang terjadi dalam rangka sejarah keselamatan. menurut von Rad, tema Penciptaan dalam Perjanjian Lama tidak berdiri sendiri tetapi terkait dengan tema Penebusan yang jauh lebih penting. Ia juga menekankan bahwa umat Israel dalam Perjanjian Lama pertama-tama menghayati Tuhan sebagai Penebus, baru kemudian sebagai pencipta, dan kisah Penciptaan hanya sebagai tindakan awal yang melatari karya penebusan. Di sisi lain, Dyrness[4] mengusulkan prioritas Penciptaan terhadap Penebusan, namun ia pun kurang konsisten dengan mengatakan, “tidak menutup kemungkinan bahwa umat Israel mengalami Allah sebagai Penebus terlebih dulu.”

Kebanyakan ahli berpandangan bahwa teologi Penciptaan adalah subordinasi dari teologi Penebusan. Menurut Yonky Karman,[5] minimal ada tiga hal mengapa teologi Penciptaan termarjinalisasi dalam diskusi-diskusi teologi:

1) Sejarah teologi Kristen memperlihatkan bahwa posisi teologi penciptaan selalu dinilai rendah (inferior) terhadap doktrin tentang Kristus dan doktrin Penebusan.

2) Konsep tatanan dunia yang dulu erat terkait teologi penciptaan, sekarang hampir boleh dikatakan lenyap dari perbincangan teologi.

3) Dewasa ini yang populer dalam diskusi-diskusi teologi adalah tema-tema kontemporer seperti perdamaian, keadilan, sosiologi, yang pada dasarnya sedikit sekali berbicara mengenai tema penciptaan.

Relasi Sang Pencipta Dengan Dunia Ciptaan
Menurut Yonky Karman,[6] sekalipun Tuhan adalah pencipta, Alkitab tidak pernah mengidentikkan Sang Pencipta dengan dunia ciptaan. Dunia ciptaan tidak boleh diperilah. Namun demikian tidak ada dikotomi antara dunia dan Tuhan, seolah-olah memilih yang satu otomatis melepaskan yang lain. Jikalau demikian halnya, maka tidak ada relasi antara Sang Pencipta dan dunia ciptaan yang di dalamnya termasuk manusia.

Sebagaimana telah disinggung di atas, Allah sebagai Pencipta tetap menjalin relasi dengan ciptaan. Melalui dunia ciptaan, Allah menyingkapkan diri-Nya dan sekaligus dapat dikenal oleh ciptaan, khususnya manusia. Namun, yang menjadi pertanyaan apakah Allah tetap dapat dikenal tanpa ciptaan? Ini adalah suatu pertanyaan yang pelik. Tentunya dapat dikatakan bahwa ketika Allah menciptakan segala sesuatu sebagai ciptaan, maka Allah menjadi bagian di dalamnya. Jika tidak ada ciptaan, siapa yang dapat berbicara tentang Allah atau mengenal Allah, selain Allah sendiri. Itu berarti tidak ada konsep tentang Allah Pencipta, Allah Pejanjian, Allah Penebus dsb. Jadi dapat dikatakan bahwa, Allah tidak dapat dikenal tanpa ciptaan, meskipun Allah tidak bergantung kepada ciptaan. Relasi antara Allah dengan ciptaan begitu kuat, sehingga pengenalan akan Allah harus dimulai dari ciptaan. Karena kita diciptakan, maka kita dapat mengenal Pencipta kita.

Perkembangan Teologi Penciptaan[7]
Marjinalisasi terhadap ajaran penciptaan telah berlangsung sejak awal abad ke-20, dengan pemahaman bahwa cerita penciptaan bukan materi asli iman umat Israel, melainkan diambil alih dari mite penciptaan dalam agama-agama Asyur dan Babel sekitar abad ke-7 SM. Bernhard Stade mengatakan bahwa, umat Israel mengolah tema penciptaan yang berasal dari luar, kemudian menjadikannya sebagai bagian dari agamanya. Umat Israel mula-mula mengimani Allah sebagai Penebus, baru kemudian sebagai Pencipta. Sebagai contoh, misalnya adanya kemiripan antara cerita penciptaan dalam kitab Kejadian 1 dan 2 dengan cerita penciptaan dalam tradisi Babel, Enuma Elis. Namun di sisi lain, juga ada yang berpendapat bahwa, cerita penciptaan yang ada dalam kitab Kejadian lebih sederhana dibanding dengan legenda Babel tersebut. Dan berdasarkan kaidah yang berlaku dalam arkeologi Timur Dekat Kuno, cerita penciptaan yang ada dalam kitab Kejadian tidak mungkin menjiplak legenda Babel.

Hal lainnya yang menyangkut hal ini, ditemukan perbandingan yang menarik antara kisah penciptaan dalam kitab Kejadian dan dalam tradisi Babel, Enuma Elis. Tradisi Babel menonjolkan Marduk, dewa utama dari panteon Babel, dengan mengisahkan keunggulannya dan kotanya. Kisah ini memuliakan dunia dewata sedemikian sehingga porsi tindakan penciptaan hanya seperenamnya, selebihnya adalah bagaimana Marduk menjadi dewa nomor satu. Dan hal ini tentu berbeda dari kisah penciptaan dalam Kejadian 1, yang memakai cukup banyak ayat untuk mengisahkan penciptaan matahari, bulan , bintang serta manusia (ayat 14-19, 26-30). Menurut tradisi Babel, manusia diciptakan supaya para dewa bebas dari beban pekerjaan sehari-hari. Manusia diciptakan untuk menjadi pelayan dewa-dewa, termasuk menyediakan makanan bagi mereka. Namun, dalam kisah di Kejadian digambarkan manusia sebagai mahkota penciptaan. Bukan manusia menyediakan makanan bagi Tuhan, justru sebaliknya Tuhanlah yang menyediakan makanan bagi manusia, seperti tumbuh-tumbuhan misalnya (Kej. 1:29). Bahkan dalam Kejadian 2 Allah menyediakan taman bagi manusia untuk dihuni, binatang-binatang untuk menemani manusia, dan akhirnya seorang isteri untuk mendampingi dan menolongnya seumur hidup.

Refleksi: Sebuah Alternatif Memahami Teologi Penciptaan
Dari tinjauan di atas, kita dapat melihat bahwa masalah di dalam teologi Penciptan cukup pelik. Belum lagi jika diperhadapkan dengan sains. Adakah suatu alternatif lain untuk memahami teologi Penciptaaan, di samping hal-hal yang telah di bahas di atas? Jawabnya adalah “ada”. Jika para ahli memperdebatkan mengenai posisi teologi Penciptaan sebagai yang superior ataukah yang inferior, sebenarnya ini bukan hal yang esensi. Di pihak lain, orang juga memperdebatkan teologi Penciptaan dengan sains modern, yang kerap kali berakhir tanpa ujung.

Menurut hemat saya, yang hendak ditekankan dalam cerita penciptaan dalam Kejadian 1 dan 2 adalah bahwa Allah yang digambarkan sebagai Pencipta merupakan penyebab dari segala sesuatu yang ada. Inilah yang esensi ketimbang mempersoalkan Allah sebagai "Penebusan" atau "Pencipta" dan memperdebatkannya dengan sains modern. Di samping itu, teologi Penciptaan juga harus dipahami bukan sebagai cerita sejarah dalam pengertian modern, melainkan sebagai refleksi iman bangsa Israel dalam memahami Allah yang mereka sembah sebagai Allah yang juga menciptakan segala sesuatu.

[1] Dr. Walter Lempp, Kejadian 1:1-4:26, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1987), 9-
[2] Dr. J.L.Ch. Abineno, Pokok-Pokok Penting Dari Iman Kristen, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1989), 30-
[3] Yonky Karman, Bunga Rampai Teologi Perjanjian Lama, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2005), 21
[4] Ibid, Karman. 22
[5] Ibid
[6] Ibid. 19
[7] Ibid. 22-24

Kamis, 07 April 2011

SEJARAH POS KARTINI

Sejarah keberadaan Pos Kartini sebenarnya dimulai ketika seorang anggota jemaat yang giat melayani Gereja Kristus Bogor, memiliki kerinduan untuk menjadikan rumahnya di Jalan Kartini No. 2 sebagai Pos ibadah Gereja. Alm. Ibu Helena Tandriati (1908 -2007) yang memiliki kerinduan ini, telah kehilangan penglihatannya pada tahun 1980, sehingga ia mengalami kesulitan untuk melanjutkan kegiatan pelayanannya di Gereja Kristus Bogor Jln. Siliwangi No. 51.

Keinginan ibu Helena untuk tetap giat melayani Jemaat GK Bogor dan beribadah setiap Minggu, diwujudkan dengan mengadakan kegiatan pelayanan di rumahnya, seperti Persekutuan, Kebaktian Sekolah Minggu dan Les Menggambar bagi anggota keluarga jemaat yang tinggal di sekitar kediamannya di Jln. Kartini No. 2.
Untuk mengukuhkan niatnya tersebut, beliau menghibahkan tanah dan bangunan miliknya melalui Akta Hibah pada tahun 1986. Proses Notarial selanjutnya dilaksanakan melalui beberapa jenjang prosedur sesuai dengan peraturan Undang-Undang yang berlaku, dan berakhir pada tahun 2003 dengan diterbitkannya Sertifikat HGB atas nama Gereja Kristus. 

Sejak menerima Hibah tahun 1986, Majelis Jemaat GK Bogor segera merencanakan penggunaan persil tersebut sebagai tempat pelayanan bagi jemaat Gereja. Akhirnya pada hari Minggu tanggal 6 Maret 1988, tempat ini diresmikan sebagai tempat pelayanan Kebaktian Ketiga (Ibadah III), yang dilaksanakan setiap hari Minggu pukul 16.00 WIB.

Seiring dengan kebijakan Majelis Jemaat GK Bogor yang juga menyelenggarakan Kebaktian III pukul 17.00 WIB, maka BP Pos Kartini merubah jam ibadah Pos Kartini menjadi pagi, pukul 08.00 WIB, sesuai dengan keinginan warga jemaat Pos Kartini melalui angket yang dibagikan. Dan sejak 1 Januari 2005, istilah “Kebaktian III” di Pos Kartini berubah menjadi “Kebaktian Pos Kartini”.      

Selasa, 05 April 2011

Yang Terbaik Selalu Allah Berikan Kepada Kita

Yesaya 43:16-21

Berbicara tentang hal yang “baik”, apa itu yang “baik? Dan bagaimana yang “baik” itu? Tentu dapat menimbulkan perdebatan. Apa yang baik menurut saya, belum tentu baik bagi saudara. Demikian juga, apa yang baik menurut pandangan kita, belum tentu baik bagi Allah.
Dalam teks Yesaya 43:16-21 digambarkan bagaimana umat tidak memahami kebaikan yang Allah perbuat ketika umat berada di Babel. Mereka mengeluh dengan nasib yang mereka alami sebagai bangsa terjajah. Mereka terus bersedih karena mengenang ketika mereka keluar dari Mesir sebagai orang yang merdeka.
Yesaya dalam bagian ini mengingatkan umat bahwa Allah masih dapat melakukan perkara yang lebih besar dari apa yang pernah mereka alami di Mesir. Tindakan Allah memperlakukan umat demikian tentu ada maksudnya, yaitu agar umat semakin dewasa dan hidup berkenan kepada-Nya. Di tengah pengalaman pahit dan tidak menyenangkan, umat diuji untuk tetap berharap dan setia kepada Tuhan. Dalam ayat 21, Allah menegaskan bahwa umat yang telah Ia bentuk akan memberitakan kemasyuran-Nya. Artinya bahwa dibalik pembentukan yang menyakitkan, Allah mempersiapkan umat untuk menerima perkara yang lebih besar.
           Saudara, apakah saudara sedang mengalami pergumulan berat? Bertanya, apa maksud Tuhan dengan semua ini? Renungan warta minggu ini mengingatkan kita, bahwa Allah memakai hal-hal pahit untuk menyatakan perkara yang lebih besar kepada kita, seperti yang Yesus alami melalui pergumulan, penderitaan, kematian dan kebangkitan-Nya. (hr_do)

Minggu, 03 April 2011

Anak Sulung Pun Seharusnya Dapat Ikut Bergembira

Lukas  15:11-32
            
             Bagi kebanyakan orang pada umumnya, tindakan mengampuni merupakan hal yang tidak mudah. Menurut Andar Ismail, mengampuni bukan berarti melupakan. Artinya, secara psikologis, orang yang mengampuni akan tetap dapat mengingat perbuatan salah, orang yang diampuninya. Karena itu tindakan mengampuni secara manusiawi adalah hal yang sulit.   
Dalam Lukas 15:11-32, Yesus menggambarkan seorang ayah yang mau mengampuni anaknya melalui cerita perumpamaan. Diceritakan bahwa sang anak bungsu ingin pergi dari rumah dan meminta warisan kepada ayahnya. Ia menghabiskan warisannya dengan hidup berpoya-poya. Dikemudian hari, anak tersebut menderita kelaparan, harta bendanya habis dan negeri yang ia diami dilanda bencana. Sang anak meratapi nasibnya, dan ia ingat akan rumah dan keluarganya (17). Ia menginsyafi akan kesalahannya (18). Dengan rasa malu dan berat, akhirnya ia kembali ke rumah ayahnya. Tentunya sang anak tidak berharap banyak. Ia hanya berharap agar sang ayah memaafkan dan menerimanya menjadi budak upahan (19). Di luar dugaannya, ternyata sang ayah bukan saja rela mengampuni segala kesalahannya, tetapi juga menyambut sang anak  dengan penuh sukacita.
Di pihak lain, si anak sulung yang seharusnya ikut bersukacita karena adiknya kembali dan insyaf, malah protes dan marah. Ia tidak dapat menerima hal ini. Ia masih memperhitungkan dan mengingat kesalahan yang pernah dilakukan oleh adiknya.    
Saudara yang dikasihi Tuhan, mari kita belajar untuk mengampuni, sebagaimana Allah mengampuni kita. Belajar untuk berbesar hati, serta kerelaan memberi maaf, betapapun terlukanya diri kita. (hr_do)